Enrika Stefano
Ketika
saya masih SD, ada seorang teman laki-laki saya yang menaruh perhatian pada
saya layaknya "percintaan anak zaman SD". Tentu ia gengsi untuk
mengakuinya maka ia memilih cara yang sama sekali bertolakbelakang dengan
perasaannya. Daripada menjadi pangeran kecil yang membantu saya piket, ia
menjadi pangeran usil yang meledek saya setiap jam istirahat. Saya tak ingat
apa yang ia katakan, dan saya tidak tahu mengapa saya tidak memiliki kekuatan
untuk menghindar. Jam istirahat adalah neraka karena ia akan menghampiri saya
dan melemparkan pernyataan-pernyataan menyebalkan. Entah bagaimana caranya, ia juga pernah menggigit lengan saya. Saya, seperti anak SD pada
umumnya, mau saja terpancing keusilan dia.
Dalam
kasus ini, saya rasa hal yang paling sering ditanamkan pada anak perempuan
adalah jika ada laki-laki yang usil padamu, tandanya ia menyukaimu. Dan
disinilah letak masalahnya. Hingga seorang perempuan tumbuh dewasa, ia merasa lumrah saja seorang laki-laki
berbuat semena-mena padanya. Toh, itu bukti bahwa ia diperhatikan dan dicintai.
Posesif menjadi simbol perlindungan. Dan permintaan maaf, seberapapun
banyaknya, adalah tetap tulus adanya. Perempuan dibutakan oleh pendapat bahwa
tidak apa-apa jika ia terjebak dalam sebuah hubungan di mana laki-laki boleh
mengatur hingga hal-hal kecil yang tak perlu diatur. Seperti teman saya yang
tidak lagi memakai rok karena pacarnya mengharuskan ia memakai celana panjang.
Seperti teman saya yang dilarang melanjutkan kuliahnya ke universitas yang ia
impikan karena pacarnya tidak ingin mereka pacaran jarak jauh. Seperti teman
saya yang suka memberikan kejutan-kejutan manis untuk pacarnya namun pacarnya tega
meneriaki dia di depan umum, "Ini
bukan saat yang tepat, saya lagi sibuk, tahu!"
Dalam
artikelnya mengenai Cinderella Complex di laman HelpNona yang bisa dilihat di sini,
Nike mengatakan bahwa perempuan suka menyalahartikan makna feminisme, dimana nembak duluan dianggap keren, namun di
saat yang bersamaan, mudah menyerah karena takut atau malas mengambil
kesempatan yang baru. Padahal, feminisme itu bukan soal kekuatan seorang
perempuan dalam menghadapi kekerasan seorang laki-laki. Feminisme itu bukan
perkara seorang perempuan yang tidak boleh terlihat lemah berdasarkan konsep
bahwa setiap wanita harus tabah. Feminisme itu tidak terletak pada seberapa
mandiri seorang perempuan menyimpan permasalahan di dalam dirinya sendiri. Saya
mendapati banyak teman perempuan saya yang jelas menyadari bahwa mereka tidak
menjalani pacaran sehat, namun masih keukeuh
berpendapat bahwa pacar mereka menyayangi mereka. Dan ketika ada temannya
yang berusaha memberitahu betapa racunnya hubungan tersebut, ia akan sewot,
"Kan saya yang merasakan cinta ini." Bah, lagi-lagi cinta alasannya.
Baiklah,
biar saya bantu mendefinisikan apa itu cinta. Cinta tidak akan posesif, karena ia
berdasarkan pada kepercayaan. Cinta tidak berbohong, karena betapa sakitnya
mengasihi sesuatu dengan tulus namun ternyata bukan yang sesungguhnya,
mengasihi yang semu. Cinta bukanlah obsesi, karena tak ada gunanya mencintai
orang yang terlihat begitu sempurna namun tak pernah menjadikanmu prioritas.
Cinta mendukung cita-cita pasangannya, karena tersiksa rasanya menghabiskan
waktu dengan orang yang tidak memahami ambisimu, dan yang ambisinya tak bisa
kau pahami. Cinta tak bisa diukur dengan betapa nyambung sebuah obrolan atau sebuah lelucon. Menemukan orang yang
bisa memahami 'sisi anehmu' memang sulit, namun lebih bernilai menemukan orang
yang mencintaimu bukan karena uang
yang kau miliki, waktu yang kau curahkan mendengarkan keluhan yang tak kunjung
usai, ataupun tenaga yang kau kerahkan agar ia tidak meninggalkanmu. Cinta itu
tak perlu dikejar sedemikian rupa. Ia akan berkembang dengan sendirinya melalui
ketulusan. Cinta adalah kedewasaan untuk melihat bahwa dalam pacaran sehat,
tidak cukup dua orang yang saling mengagumi. Ia memerlukan dua orang yang
saling menghargai, yang dewasa untuk menyadari bahwa dunia ini tak hanya milik
berdua. Begitu banyak permasalahan dalam hidup ini dan pernyataan cinta tidak
cukup untuk menjamin keberlangsungan pacaran sehat.
Setiap
perempuan perlu memahami ini karena salah satu hambatan terbesar dalam pacaran
sehat adalah lingkungan pertemanan. Misalnya, ketika seorang laki-laki memberi
coklat dan bunga di hari Valentine, teman-teman perempuan si A banyak yang
berpendapat, "Aww, so sweet!"
Padahal, di hari-hari lain, banyak kejadian dimana si A yang sedang sibuk
mempersiapkan ujian harus meladeni kemarahan pacarnya karena si A tidak
membalas LINE, walaupun kesibukkan tersebut sudah dikomunikasikan. Di sini
biasanya si A akan merasionalisasi, "Ah, memang salah saya. Saya terlalu
sibuk mengejar nilai sampai lupa pada pacar saya." Kadang teman-temannya pun berpendapat demikian karena ada yang dibiasakan untuk
bertutur kata yang lembut dan tidak menyakitkan sebagai bentuk dukungan. Menasehati "YOLO aja" agar temannya memperjuangkan apa yang menurutnya membuat bahagia, toh hanya untuk "bodoh-bodohan" sementara. Ini
tentu salah, sebab teman yang baik tidak akan membiarkan temannya terjerumus
dalam hubungan yang tidak sehat, dan akan mengatakan yang sejujurnya. Kalau kaum perempuan terbiasa mendukung temannya untuk mengatasnamakan kebebasan memilih ketimbang
akal sehat berbasis fakta, mengagungkan solidaritas ketimbang kenyataan pahit,
dan berprinsip "asalkan bahagia di saat ini", sulit rasanya mencegah terjadinya kekerasan dalam hubungan.
Sumber gambar: https://media.licdn.com/mpr/mpr/AAEAAQAAAAAAAAW4AAAAJDFlYWI0Njk4LTRkNzctNGYxOS1iZGY0LTNiYmRkYzQ0OWJmNQ.jpg |
Hambatan
lain dalam berpacaran sehat juga berakar pada mimpi-mimpi masa kecil seorang
perempuan untuk dimanjakan dengan kasih sayang, yang kemudian diterjemahkan pada
keromantisan. Maka ketika seorang laki-laki menunjukkan keromantisan, terasa sempurnalah hubungan keduanya. Keromantisan kerap kali menjadi tolak ukur
cinta, dengan amat keras kepalanya dibela tanpa mempedulikan pendapat orang
lain, padahal romantis itu belum tentu cinta. Mereka yang dimabuk cinta, yang
tak berhenti chat siang malam, dan
yang senyum-senyum sendiri, suka lupa akan pentingnya mencari orang yang bisa
saling mengisi, sebab dalam berpacaran, sekedar melengkapi tidaklah cukup. Banyak yang memilih
menghabiskan waktu dengan seorang laki-laki yang memanjakan mereka dan sesekali
(atau sering kali) berbuat seenaknya, ketimbang menghabiskan waktu dengan
seorang laki-laki yang membuat mereka menjadi perempuan yang berani bermimpi
lebih, berkarya dalam masyarakat, dan bersama-sama, keduanya saling
menyemangati untuk membentuk versi terbaik dari keduanya.
Ketika
seorang perempuan memiliki self-respect,
ia akan mendapati pacar yang menghargainya, yang tak perlu dikejar setengah
mati, yang tak perlu diiming-imingi perhatian berlebihan. Keduanyapun bisa
saling mengisi, saling mendukung mimpi-mimpi yang dimiliki pasangannya, dan
saling mengagumi karya yang keduanya
ciptakan. Sebaliknya, ketika seorang perempuan membutuhkan perhatian laki-laki
untuk menegaskan eksistensinya sebagai perempuan yang harus diperhatikan, ia
akan terjebak dalam ketergantungan yang menghancurkan dirinya sendiri. Ia akan
senantiasa mencari alasan untuk tidak bermimpi lebih, ia akan menyalahkan
dirinya sendiri setiap kali terjadi kekerasan dalam pacaran, dan ia tidak mampu
mempertanggungjawabkan identitasnya sebab ia membiarkan jati dirinya dipoles
oleh keberadaan seorang lain di dalam hidupnya.
Maka di
masa depan, jangan sampai anak perempuan dibiasakan untuk senang karena diperhatikan
oleh anak laki-laki yang menarik kepang
mereka. Ini tentu berlaku dua arah.
Perempuan bisa diperlakukan semena-mena oleh pacarnya, dan laki-laki pun banyak
yang diperlakukan seenaknya oleh pacarnya. Oleh karena itu, permasalahan
kekerasan dalam pacaran jangan hanya menjadi concern para perempuan, namun juga laki-laki. Laki-laki harus
menolong perempuan yang menjadi korban kekerasan, dan perempuan harus menolong
laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Ini jelas tidak bisa dijadikan perjuangan
satu gender saja; hanya mau membela mereka dengan gender yang sama. Untuk itu, dalam setiap individu perlu ditanamkan pentingnya mengisi diri,
menanyakan apa permasalahan dunia yang harus diselesaikan, agar mereka bisa
memaksimalkan potensi yang mereka miliki daripada mencari orang lain untuk
melengkapi rasa kesepian karena tidak memiliki kecintaan untuk berkarya.